Cara licik merusak rumah tangga.
Rumah tangga itu dibangun di atas spirit bahu membahu, suami dan istri selalu menyadari bahwa mereka berdua adalah satu, satu kepentingan, satu tujuan, satu perjuanga dan satu keputusan.
Sukses suami adalah sukses istri, kegagalan suami juga kegagalan istri, derita suami adalah derita istri, demikian sebaliknya.
Bila suami mulai merasa bahwa dirinya berdiri, berjuang sendiri, menghadapi tantangan sendiri, dan fokus untuk memperjuangkan mimpi/cita cita sendiri, tidak peduli atau minimal kurang peduli dengan mimpi dan harapan istri, maka lambat laun, rumah tangga itu akan kandas dan gagal.
Bila ada orang yang menginspirasi masing masing dari suami dan istri untuk merasa besar di atas kaki sendiri, tanpa perlu melibatkan dan mengakui peran istrinya, atau sevcara perlahan namun pasti fokus dengan mimpinya sendiri dan menduakan alias mengesampingkan mimpi istrinya.
Menurut anda: orang seperti ini layak dianggap sebagai pahlawan bagi keluarga tersebut atau sebagai pecundang?
Kondisi serupa juga terjadi pada dunia dakwah:
Idealnya, semua pejuang dakwah menyadari dan terus mengobarkan semangat kebersamaan dengan pejuang dakwah lainnya.
Namun bila yang terjadi ada orang orang yang secara halus mengkondisikan agar para pendakwah lebih fokus pada personal brandingnya dibanding dakwah secara global.....secara pelan namun pasti membangun gurita bisnis personal memalu dakwahnya, dan semua kegiatan dakwahnya dikemas sebagai "dinasti" personalnya, akhirnya terbentuklah sekat sekat "gue" atau "aku" alias brand personal.
Brand personal lebih dikembangkan dibanding dakwah sebagai rumah besar, atau Islam sebagai rumah besar pendakwah.
Bila akhirnya nampak kecenderungan, konten dakwah di"daulat" sebagai produk berlisensi yang ber"Copyright" atau hak cipta, sehingga tidak boleh dipublikasikan secara luas, kecuali setelah melalui prosedur sewajarnya pada produk produk ber"Copyright".
Bila akhirnya tujuan membesarkan "cuan" bagi brand personal dibanding "cuan" komunal dakwah, alias praktek komersialisasi dakwah semakin nampak kental, mulai muncul deal deal nilai 'sekali tampil".
Tidak dapat dipungkiri dakwah menjadi maghnet masa juga membentuk pola konsumsi produk, telah dimanfaatkan oleh para investor.......semoga kepentingan investor tidak membelokkan orientasi para pendakwah dari dakwah menjadi bisnis pendakwah alias "bakul ustadz".
Industri sekolah islam, industri busana, kosmetik, herbal, kulinar, biro haji dan umrah, dan masih banyak lagi ikut ambil bagian dalam dakwah.
Biro ini untuk mensuport dakwah ustadz, kemudian berkembang biro ini tersuport oleh dakwah ustadz sehingga cuan besar.
Sekolah ini untuk melengkapi dakwah ustadz, berlanjut menjadi sekolah dan dakwah ustadz ternyata bisa menghasilkan deviden besar.
Ah, semoga ini sekedar pikiran nakal saja....atau sekedar korban baca buku di bawah ini:
Daripada pikiran nakal ini berkembang liar, yuk daftarkan diri anda atau putra putri anda di sini: https://pmb.stdiis.com/
Tulisan di atas menyuguhkan refleksi yang sangat mendalam dan kritis terhadap dua hal yang sangat fundamental dalam kehidupan: rumah tangga dan dakwah. Keduanya dibangun di atas asas kebersamaan, keikhlasan, dan pengabdian, namun bisa rusak dari dalam apabila ego dan kepentingan pribadi mulai mengambil alih.
1. Rumah Tangga: Kebersamaan yang Terbelah
Tulisan ini dengan tajam menunjukkan bahwa rumah tangga tidak dibangun dari dua pribadi yang saling berlomba, tetapi dari dua jiwa yang menyatu dalam satu visi. Ketika salah satu mulai merasa bisa berdiri sendiri, berjuang sendiri, dan hanya fokus pada impian pribadi tanpa melibatkan pasangannya, saat itulah benih kehancuran mulai tumbuh.
Kalimat kunci:
"Bila suami mulai merasa bahwa dirinya berdiri, berjuang sendiri..."
Ini bukan hanya soal peran suami, tapi tentang bagaimana kedua belah pihak bisa saling menguatkan, saling memotivasi, dan menyelaraskan mimpi, bukan menjadikannya lomba ego. Maka siapapun yang sengaja atau tidak, menginspirasi keterpisahan itu, bisa dibilang bukan pahlawan, tapi perusak keharmonisan — layak dianggap sebagai pecundang dalam konteks rumah tangga.
2. Dakwah dan Komersialisasi: Perjuangan atau Personal Branding?
Tulisan ini juga menyinggung fenomena yang belakangan cukup terasa di dunia dakwah: komersialisasi, personal branding berlebihan, dan kapitalisasi konten keagamaan.
Catatan kritisnya tajam:
"Brand personal lebih dikembangkan dibanding Islam sebagai rumah besar."
Bila dakwah lebih mirip panggung selebritas, lalu semua konten dakwah dipagari oleh lisensi dan copyright, maka yang dibangun bukan lagi umat yang tercerahkan, melainkan pasar yang dikendalikan. Padahal ruh dakwah adalah ikhlas, berbagi, membangun umat — bukan membangun “kerajaan” pribadi dengan dalih dakwah.
Refleksi Penutup
Tulisan ini bukan sekadar keluhan, tapi peringatan halus tentang betapa tipisnya batas antara niat baik dan ambisi pribadi.
Dan penutupnya sangat menarik:
"Ah, semoga ini sekedar pikiran nakal saja....atau sekedar korban baca buku..."
Kalimat ini memberi ruang pada pembaca untuk merenung tanpa menghakimi, tapi juga tidak menutup mata.
Kalau aku boleh simpulkan:
- Dalam rumah tangga, siapa pun yang memupuk ego individual atas nama “impian pribadi” telah menyulut api kehancuran.
- Dalam dakwah, siapa pun yang lebih sibuk membesarkan merek pribadinya dibanding menyatukan umat dalam semangat Islam — layak dipertanyakan orientasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar